Wednesday, 21 May 2025

[21052025] Are We Great Because We Are Great? Or Because Allah Hides Our Shortcomings?

There’s a question that lingers in the quiet moments of self-reflection: Are we truly great because of who we are, or because Allah hides what we are not?

In a world that often celebrates success, outward appearances, and accolades, it’s easy to believe that greatness is something we earn entirely on our own. Our degrees, our positions, our wealth, our social image — these are displayed like medals of worth. But behind every carefully curated life lies a truth far deeper and more humbling: we are not perfect. We are flawed, we fall short, we struggle. Yet, somehow, we are still respected, still loved, still seen as "great."

How is that so?

Because Allah is Al-Sitteer — The Concealer of Faults.
Out of His infinite mercy, Allah covers our shortcomings from the eyes of others. He shields our mistakes, forgives what we regret, and allows us to continue with dignity intact. Without His divine veil, perhaps our flaws would define us in the eyes of people. But He chooses to cloak them — not because we deserve it, but because He is merciful.

True greatness, then, is not self-made.
It is a trust. A gift. A responsibility.

When we recognize this, our hearts soften. We begin to understand that the honor we carry is not entirely our own doing. We become slower to judge others and quicker to thank Allah for the blessings we often take for granted. And we grow in humility — the kind that doesn't shout, but whispers gratitude with every breath.

So the next time someone praises you, or when you’re tempted to compare yourself with someone else, pause and remember:
"We are not great because we are great. We are great only because Allah has chosen to hide our imperfections."

May this awareness lead us to be more compassionate, more grounded, and more connected to the One who knows us better than we know ourselves — and still loves us.


[21052025] Kebaikan Kembali Kepada Diri Sendiri: Refleksi daripada Al-Quran dan Hadis


Setiap insan dianugerahkan pilihan dalam hidup — untuk berbuat baik atau sebaliknya. Dalam mencari makna dan ganjaran sebenar daripada setiap amal perbuatan, al-Quran memberikan pedoman yang sangat jelas: apa jua kebaikan yang kita lakukan, ia sebenarnya kembali kepada diri kita sendiri.

1. Kebaikan Adalah Untuk Diri Kita Sendiri

Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Isra’ ayat 7:

"إِنْ أَحْسَنتُمْ أَحْسَنتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ ۖ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا"
"Jika kamu berbuat baik (bererti) kamu berbuat baik untuk diri kamu sendiri, dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu adalah terhadap diri kamu sendiri."
(Surah Al-Isra’, 17:7)

Ayat ini menunjukkan satu prinsip penting dalam Islam: setiap kebaikan yang kita lakukan akan memberi manfaat utama kepada kita sendiri, baik dari segi pahala, ketenangan hati, keberkatan rezeki mahupun balasan di akhirat. Begitu juga sebaliknya, kejahatan tidak merugikan orang lain seberat mana ianya membebani diri sendiri.

2. Sedekah dan Amal Soleh Tidak Pernah Sia-Sia

Dalam Surah Al-Baqarah, Allah SWT menegaskan lagi:

"وَمَا تُنفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَلِأَنفُسِكُمْ"
“Dan apa jua kebaikan yang kamu belanjakan (di jalan Allah), maka (pahala)nya adalah untuk diri kamu sendiri.”
(Surah Al-Baqarah, 2:272)

Sama ada memberi sedekah, membantu orang dalam kesusahan, atau menyumbang tenaga dalam kebaikan — semuanya tidak pernah sia-sia. Walaupun manusia tidak memandang atau membalas, Allah akan menggantikan dengan sesuatu yang jauh lebih baik — sama ada di dunia atau di akhirat.

3. Hadis Nabi SAW: Kebaikan Adalah Sedekah

Rasulullah SAW bersabda:

"كُلُّ مَعْرُوفٍ صَدَقَةٌ"
"Setiap kebaikan adalah sedekah."
(Hadis Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Apa jua bentuk kebaikan — senyuman, memberi laluan, menolong orang tua, menasihati yang memerlukan — semuanya dianggap sebagai sedekah. Dan sedekah tidak pernah mengurangi harta atau keberkatan seseorang, malah menambah rahmat dan kasih sayang Allah.

Dalam satu lagi hadis:

"مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ"
"Barangsiapa menunjukkan kepada kebaikan, maka baginya pahala seperti orang yang melakukannya."
(Hadis Riwayat Muslim)

Bayangkan betapa luasnya peluang kita mengumpul pahala — hanya dengan menunjukkan jalan kebaikan, kita mendapat ganjaran yang sama seperti pelakunya.


Kesimpulan: Kita Menanam Untuk Menuai Sendiri

Kebaikan bukan hanya memberi manfaat kepada orang lain, tetapi sebenarnya memberi kesan terbesar kepada jiwa, kehidupan dan akhirat kita sendiri. Maka janganlah berkira dalam berbuat baik, walaupun sekecil senyuman atau doa dalam diam. Jika kita tanam kebaikan hari ini, kita sedang menuai ganjaran yang besar untuk esok dan seterusnya.

Ingatlah: “Apa sahaja kebaikan yang kamu lakukan, maka ia adalah untuk dirimu sendiri.”

Friday, 16 May 2025

[16052025] True Youth: Not by Inheritance, but by Identity


In a world that often values legacy and lineage, there's an Arabic idiom that offers a powerful reminder of what it truly means to be young and capable:

"لَيْسَ الشَّبَابُ مَنْ قَالَ هَذَا أَبِي، بَلِ الشَّبَابُ مَنْ قَالَ هَا أَنَا ذَا"
"Youth is not the one who says 'This is my father,' but the one who says 'Here I am.'"

The Meaning Behind the Words

This idiom isn't just poetic; it’s a philosophy. It challenges the idea that pride should be rooted in ancestry or family name. Instead, it asserts that true youth is about self-assertion, independence, and personal achievement.

Saying “This is my father” implies dependence on family status or reputation. But saying “Here I am” declares one’s own presence, capability, and readiness to face challenges head-on.

Why This Matters Today

In the age of social media and inherited influence, it's easy to rely on someone else's shadow. But true youthfulness — regardless of age — lies in one’s initiative, courage, and willingness to build a legacy of their own.

This idiom encourages young people to:

  • Define their identity through action.
  • Rise beyond comfort zones and family achievements.
  • Take responsibility for their future, instead of waiting for it to be handed down.

A Call to Action

If you're a student, a young professional, or simply someone seeking purpose, take this idiom as a personal challenge. Let your voice be heard not because of where you come from, but because of what you stand for.

The world doesn't just need heirs — it needs leaders. And leadership begins with saying, "Here I am."

Saturday, 3 May 2025

[03052025] Baling Batu, Sembunyi Tangan: Antara Peribahasa dan Realiti Kehidupan

Baling Batu, Sembunyi Tangan: Topeng Kepura-puraan dalam Masyarakat

Peribahasa Melayu “baling batu, sembunyi tangan” menggambarkan seseorang yang melakukan kesalahan atau kejahatan secara senyap, kemudian berpura-pura tidak bersalah atau cuba mengelakkan diri daripada dipersalahkan. Ia adalah satu bentuk kepura-puraan yang masih wujud dan semakin berakar dalam masyarakat kita hari ini.

Fenomena yang Semakin Biasa

Dalam kehidupan harian, kita sering berhadapan dengan pelbagai situasi di mana peribahasa ini sangat tepat menggambarkan keadaan. Di media sosial, contohnya, ada individu yang meninggalkan komen penuh kebencian menggunakan akaun palsu. Mereka bebas ‘membaling batu’ tetapi kemudian ‘sembunyi tangan’ agar tidak dikenali.

Di tempat kerja pula, mungkin ada yang menabur fitnah terhadap rakan sekerja demi kepentingan diri. Apabila keadaan menjadi keruh, dia pula berpura-pura tidak tahu menahu — seolah-olah bukan dia pencetusnya.

Kesan kepada Hubungan dan Nilai Masyarakat

Sikap seperti ini menjejaskan hubungan sesama manusia. Kepercayaan yang dibina boleh musnah hanya kerana satu tindakan tidak bertanggungjawab. Lebih parah, jika budaya ini menjadi kebiasaan, ia akan melahirkan masyarakat yang hipokrit, pengecut dan sukar dipercayai.

Menggalas Tanggungjawab: Jalan Menuju Integriti

Kita perlu sedar bahawa keberanian untuk mengaku kesalahan jauh lebih mulia daripada berpura-pura tidak terlibat. Mengakui kesilapan ialah langkah pertama untuk memperbaiki diri. Dalam organisasi, keluarga atau komuniti, kejujuran dan akauntabiliti adalah nilai yang harus dipupuk.

Setiap daripada kita ada peranan untuk memutuskan rantaian “baling batu, sembunyi tangan” — sama ada dengan tidak melakukannya, atau dengan berani menegur mereka yang berbuat demikian.

Penutup

Peribahasa "baling batu, sembunyi tangan" bukan sekadar ungkapan lama, tetapi satu cerminan realiti sosial yang masih relevan hingga hari ini. Dalam dunia yang penuh kepura-puraan, jadilah individu yang berani berdepan dengan kebenaran. Jangan baling batu dan sembunyi tangan — sebaliknya, hulurkan tangan untuk membina semula kepercayaan dan keharmonian dalam masyarakat.

[05062025] The Dark Heart of Professionalism: When Words and Actions Collide

The Dark Heart of Professionalism: When Words and Actions Collide In every workplace or organization, you’ll eventually come across someo...